Regulatory Impact Assesment Statement (RIAS) terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 123/PMK.07/2008

Oleh: Andri Satria Masri

Regulatory Impact Assesment (RIA) adalah suatu Tim yang dibentuk oleh Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (PKD DJPK) Departemen Keuangan RI yang bertugas melakukan penilaian secara sistematis terhadap dampak dari tindakan pemerintah melalui pemberlakukan regulasi dan mengkomunikasikan informasi kepada decision makers dan masyarakat. Assesment yang dilakukan Tim RIA baik terhadap regulasi baru yang akan diterbitkan maupun mereview regulasi yang sudah ada diproses dan dikaji berdasarkan konsultasi publik dan analisa data APBD.

Tim RIA PKD DJPK melakukan statement terhadap PMK No. 123/PMK.07/2008 tentang Batas Maksimal Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD, Batas Maksimal Defisit APBD Masing-masing Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2009 dalam rangka merumuskan PMK untuk tahun 2010. PMK No. 123 merupakan aturan pelaksanaan dari UU 17/2003, UU 33/2004, PP 23/2003, PP 58/2005 yang nantinya akan dikeluarkan setiap tahun pada bula Agustus sebagai dasar perumusan APBD tahun berikutnya.

Berdasarkan kajian dan konsultasi publik, Tim menemukan banyak permasalahan dari penerapan PMK No. 123 dengan kondisi real di tingkat Pemerintahan Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota), antara lain:
1. Defisit APBD seluruh Indonesia: 431 Pemda (89%).
2. Dari 431 tersebut, 83 daerah (78 Kabupaten/Kota dan lima Propinsi) membiayai defisit tersebut dengan sumber pembiayaan di luar SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran).
3. Dari 83 daerah tersebut, ada 41 daerah (38 Kabupaten/Kota dan tiga Propinsi) yang defisitnya melebihi batas maksimal defisit yang diizinkan PMK.
4. Dari 41 daerah tersebut hanya dua Kabupaten yang melaporkan pelanggaran batasan defisit dan telah mendapatkan rekomendasi dari Depdagri serta ijin dari Depkeu.
Alternatif yang ditawarkan Tim RIA untuk penyelesaian permasalahan di atas adalah:
1. Do nothing (tidak menaikan batas maksimal defisit APBD, tidak ada sanksi atas pelanggaran batas maksimal defisit APBD dan tidak mengatur batas maksimal defisit APBD-P).
2. Menaikkan batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah, termasuk mengatur sanksi dan batas maksimal defisit APBD-P.
Dari ke dua alternatif di atas, Tim RIA akhirnya memilih alternatif ke dua dengan menaikkan batasan defisit dari 3,5% menjadi 4,41% dari pendapatan daerah serta memasukkan pengaturan pengenaan sanksi bagi pemda yang melanggar.

Menurut penulis, pemilihan alternatif menaikkan batas maksimal defisit APBD tidak akan efektif apabila tidak diikuti dengan sosialisasi dan komunikasi yang berkelanjutan dengan pemda melalui koordinasi dengan Departemen Dalam Negeri. Karena dengan begitu banyaknya aturan dan metode yang digariskan pemerintah pusat kepada pemda membuat pemda kewalahan menerapkannya di samping ketidaksiapan SDM, sarana dan prasarana pemerintah daerah. Apabila pemerintah pusat terus melakukan sosialisasi dan komunikasi yang efektif kepada pemda maka penerapan aturan yang digariskan pemerintah pusat secara bertahap akan meningkatkan pemahaman dan kepatuhan pemda terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah pusat.

Sedangkan pengenaan sanksi harus dipertimbangkan apakah secara aturan perundang-undangan, PMK memiliki wewenang memberi sanksi kepada pihak yang tidak menjalankan PMK tersebut. Karena berdasarkan UU Pembentukan Perundang-undangan, yang bisa memuat aturan sanksi hanya UU/Perppu dan Perda. Lebih baik melakukan koordinasi yang efektif dengan Depdagri dalam penerapan PMK yang baik.

Posting Komentar

0 Komentar

Instructions

Berlangganan Melalui E-mail

Masukkan alamat email Anda untuk berlangganan artikel terbaru saya:

Web Analytics

Lokasi Pengunjung Hari Ini