Refleksi 10 Tahun UU Anti Monopoli

Oleh: Andri Satria Masri

Pendahuluan

Fungsi untuk menjalankan administrasi dan ketatausahaan Negara termasuk juga menyelenggarakan perekonomian dan kebijakan masalah-masalah sosial, merupakan tugas yang diperintahkan konstitusi kepada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan administrasi Negara.

Birokrasi administrasi Negara sebagai organisasi mempunyai kewenangan membuat kebijakan publik dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Kebijakan publik dapat dikeluarkan dalam bentuk peraturan maupun keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Kebijakan publik lazimnya menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum.

Peraturan maupun keputusan yang dikeluarkan oleh pemegang otoritas publik dalam bentuk kebijakan publik ditetapkan secara tertulis dan berisi tindakan hukum yang konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Sementara itu, hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, apakah itu kehidupan sosial, kehidupan politik, budaya, pendidikan apalagi yang tak kalah pentingnya adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi.

Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas di satu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi di lain pihak sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi.
Peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi. Ukuran dimaksud adalah sejauh mana hukum harus berperan, dengan cara bagaimana dan kepada siapa hukum itu mendelegasikan peranannya dalam kegiatan nyata dan peri kehidupan ekonomi warganya.

Sebagai salah satu contoh menarik mengkaji peranan hukum dalam suatu kebijakan ekonomi adalah UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang lebih dikenal sebagai UU Antimonopoli.

UU Antimonopoli ini menarik dikaji karena sejak diberlakukannya UU ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan isi UU ini seperti perusahaan-perusahaan kecil, menengah dan besar baik dalam PMDN maupun PMA. Namun secara tidak langsung UU ini sangat menguntungkan masyarakat sebagai konsumen dari produk-produk yang selama ini disinyalir menjalankan praktek-praktek yang dilarang dalam UU ini, terutama dari segi penetapan harga.

Latar Belakang Kelahiran UU Antimonopoli
Latar belakang diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, baik itu dalam bentuk monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu terutama yang dekat dengan kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak efisien, tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha untuk membantu mengangkat perekonomian Indonesia.

UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai rupiah dan membangkrutkan negara serta hampir semua pelaku ekonomi. Undang-undang ini juga merupakan salah satu bentuk reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk bersedia membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi. Undang-undang ini berlaku efektif pada tanggal 5 Maret 2000. Untuk mengawasi dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Pengawas Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal 30 UU No. 5/1995).

Secara umum, isi UU No. 5/1999 telah merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada di negara-negara maju, antara lain adanya ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang undang-undang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha, kegiatan-kegiatan apa yang tidak dianggap melanggar undang-undang, serta perkecualian atas monopoli yang dilakukan negara.

Sejauh ini KPPU telah sering menjatuhkan keputusan kepada para pelaku usaha di Indonesia yang melakukan perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang dikategorikan terlarang oleh UU No. 5/1999 serta yang menyalahgunakan posisi dominan mereka.
Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkongkolan.

Pada 5 Maret 2009 yang lalu UU No. 5/1999 genap berusia sepuluh tahun, waktu yang cukup panjang dan relevan untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut.
Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Sepuluh tahun penerapan UU Antimonopoli perlu dilakukan suatu refleksi, apa dampaknya bagi dunia usaha, bagi konsumen dan pemerintah. Selama sepuluh tahun berlakunya UU Antimonopoli, sejak tahun 2000 sampai sekarang menurut Zubaedah, Kasubdit Advokasi KPPU, KPPU telah menerima 963 laporan pelanggaran tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Setelah laporan itu diklarifikasi, yang ditindaklanjuti berjumlah 179. Dari jumlah tersebut sebanyak 121 diputuskan, 43 statusnya penetapan, sedangkan 15 lainnya sedang ditangani.

Dilihat dari jumlah kasus yang dilaporkan, yang sudah diputuskan dan yang sedang diproses, KPPU dapat dikatakan tergolong aktif melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tetapi yang perlu dievaluasi secara sederhana adalah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap konsumen dan Pemerintah sendiri.

Tujuan UU Antimonopoli
Sebelum lebih jauh mengkaji UU Antimonopoli ini, perlu diketahui terlebih dahulu tujuan UU Antimonopoli. Adapun tujuan UU Antimonopoli sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 3 adalah untuk:
a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c) mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d)terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dari ke empat tujuan tersebut, Martinus Udin Silalahi dalam tulisannnya yang dimuat dalam situs Koran Harian Sore Sinar Harapan tanggal 9 Maret 2005 merumuskan menjadi dua tujuan pokok, yaitu tujuan ekonomi dan tujuan sosial. Menurut Martinus, maksud tujuan ekonomi adalah terselenggaranya persaingan usaha yang sehat, kondusif dan efektif yang mengakibatkan efisiensi ekonomi. Sedangkan tujuan sosial adalah melalui persaingan usaha yang sehat tersebut kesejahteraan masyarakat akan ditingkatkan (the maximization of consumer welfare), yaitu masyarakat akan mempunyai pilihan untuk membeli suatu barang atau jasa dengan harga yang lebih murah. Jadi, kedua tujuan tersebut menjadi dasar parameter untuk menilai, apakah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap masyarakat (konsumen), dan terhadap Pemerintah sendiri.

Dampak UU Antimonopoli bagi Pelaku Usaha
Dampak UU Antimonopoli tersebut bagi pelaku usaha adalah yang pertama, pelaku usaha tidak boleh menjalankan usaha dengan cara tidak fair atau menjalankan usaha merugikan pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung; yang kedua pelaku usaha harus sungguh-sungguh bersaing dengan kompetitornya supaya tetap dapat eksis di pasar yang bersangkutan, baik dari aspek kualitas, harga maupun pelayanannya. Karena suatu pelaku usaha tidak tahu persis apa yang dilakukan oleh kompetitornya untuk tetap eksis, maka setiap pelaku usaha akan melakukan perbaikan peningkatan terhadap produknya (inovasi) untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik, harga yang lebih murah dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk menarik hati konsumen. Apakah ini sudah dijalankan oleh pelaku usaha di Indonesia? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli sepuluh tahun yang lalu, pelaku usaha umumnya sudah memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli.

Paling tidak mengetahui bahwa ada UU Antimonopoli yang memberi kebebasan kepada pelaku usaha untuk menjalankan usahanya, tetapi kebebasan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli tersebut.
Misalnya, adanya larangan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (Pasal 17), dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha (Pasal 25 ayat 2 huruf b). Namun, batasan ini tidak berlaku mutlak.

Artinya tidak setiap pelaku usaha melebihi pangsa pasar tersebut langsung dilarang, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah dengan melebihi penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan tersebut mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Kalau ya, maka larangan tersebut dikenakan kepada pelaku usaha yang bersangkutan, kalau tidak, maka pelaku usaha tersebut tidak dikenakan larangan tersebut.

Dengan demikian UU Antimonopoli tidak anti perusahaan besar. Justru UU Antimonopoli mendorong perusahaan menjadi perusahaan besar asalkan atas kemampuannya sendiri, bukan karena melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat.

Dampak UU Antimonopoli bagi Masyarakat (Konsumen)
Dampak UU Antimonopoli bagi masyarakat (konsumen) sangat dirasakan, yaitu akibat persaingan antara pelaku usaha masyarakat mempunyai pilihan dalam membeli suatu produk tertentu, baik dari aspek harga, kualitas maupun pelayanannya.
Salah satu buktinya di sektor penerbangan, setelah sektor penerbangan diliberalisasi, masyarakat dapat menikmati bepergian dengan pesawat terbang, karena harga tiket pesawat terjangkau oleh masyarakat. Ini adalah merupakan dampak yang langsung dirasakan konsumen, karena persaingan usaha dijamin oleh UU Antimonopoli.
Konsumen lebih sejahtera, karena dahulu Konsumen tidak mampu membeli tiket pesawat kalau mau bepergian ke Surabaya misalnya, maka sekarang Konsumen dapat bepergian dengan pesawat terbang, karena tiket pesawat terjangkau oleh masyarakat.

Namun di sisi lain, dalam kasus angkutan umum ini, akibat terjadinya persaingan usaha yang sehat melalui “perang” tariff ini, perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan tidak lagi memperhatikan keselamatan penumpangnya sehingga banyak terjadi kecelakaan yang merenggut banyak korban jiwa. Hal ini disebabkan maskapai penerbangan mencoba meningkatkan keuntungan dengan mengabaikan prosedur keselamatan penerbangan sebagai akibat harus menekan pendapatan dari penetapan tariff yang murah.
Terlepas dari permasalahan keselamatan penumpang yang merupakan tanggung jawab Departemen Perhubungan, dengan kehadiran UU Antimonopoli ini membuat konsumen lebih bisa menikmati fasilitas-fasiltas yang dulunya adalah barang mewah karena harga yang tidak terjangkau seperti fasilitas komunikasi seluler.

Dampak UU Antimonopoli bagi PemerintahKehadiran UU Antimonopoli ini jelas sangat membantu tugas berat pemerintah dalam mengawasi persaingan usaha yang kerap merugikan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan produk-produk yang dihasilkan oleh dunia usaha. Sebelum kehadiran UU Antimonopoli ini pemerintah kesulitan untuk menyediakan pelayanan bagi masyarakat terkait dengan produk-produk yang banyak dibutuhkan masyarakat.

Di sisi lain, perusahan-perusahaan miliki pemerintah (BUMN) yang melayani kebutuhan publik seperti listrik (PLN), pos (PT. Pos Indonesia), pelayaran (PT. Pelni), maskapai penerbangan (PT. Garuda Indonesia), dll dituntut untuk dikelola secara benar dan professional dan tidak dimungkinkan lagi melakukan praktek monopoli atau diberi hak istimewa sesuai dengan tuntutan UU Antimonopoli.

BUMN yang dikelola dengan manajemen yang baik dan benar tidak akan mendapatkan kesulitan menghadapi UU Antimonopoli karena jauh sebelum dibelakukannya UU Antimonopoli ini mereka telah mendapatkan hak-hak istimewa untuk dapat berkembang dibalik keluhan-keluhan publik terhadap mutu pelayanannya. Kesempatan yang panjang dapat dipergunakan untuk memperkuat infrastruktur perusahaan hingga mencapai pelosok daerah di Indonesia. Dibanding perusahaan-perusahaan milik swasta sudah barang tentu BUMN lebih siap. Apabila ada permintaan dari BUMN untuk diberi hak ekslusif seperti yang diminta PT. Pos Indonesia maka perlu dicurigai sebagai ketidak beresan dalam pengelolaan usaha.

Permasalahan Pelaksanaan UU AntimonopoliPengalaman Negara Indonesia dalam menerapkan UU Antimonopoli belumlah banyak sehingga masih banyak ditemukan kekurangan di sana sini. Seperti yang disinyalir oleh Afifah Kusumadara, SH. LL.M. SJD dalam sebuah artikelnya menyatakan, sejauh ini KPPU belum pernah memberi keputusan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha yang dikecualikan dari ketentuan UU No. 5/1999, padahal terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51).

Lebih jauh Afifah mengatakan, sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.

Salah satu kegiatan/perjanjian usaha yang tidak dikategorikan melanggar UU No. 5/1999 adalah “perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri” (pasal 50 huruf g UU No. 5/1999). Ketentuan ini sangat sumir, terlalu singkat, yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Selain itu, KPPU sebagai lembaga yang diberi wewenang menjalankan UU Antimonopoli ini juga masih minim pengalaman dalam menerjemahkan amanah yang dimuat dalam UU Antimonopoli sehingga setiap keputusan yang dikeluarkan KPPU masih rentan bantahan dari pihak yang digugat.

Masih banyak yang harus dipahami oleh KPPU dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal UU Antimonopoli baik dari segi pemahaman prosedur pengelolaan perusahaan, persaingan usaha, perjanjian-perjanjian dan tindakan-tindakan ekonomi dari pengusaha yang kental dengan konsep capital untung dan rugi serta pemahaman terhadap kepentingan Negara yang lebih umum.

PenutupTerlepas dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh UU Antimonopoli dan KPPU saat ini, UU Antimonopoli telah menjadi ikon penting dalam penataan ekonomi persaingan usaha yang sehat dan telah menimbulkan harapan baru bagi semua pihak terutama perusahaan-perusahan kecil menengah yang selama ini tidak berdaya bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dan bermodal kuat.

UU Antimonopoli juga memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Indonesia sebagai konsumen produk-produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan terutama menurunnya harga produk secara drastis dan dapat dijangkau oleh masyarakat. Kondisi ini jauh berbeda sebelum diberlakukannya UU Antimonopoli dimana masyarakat tidak dapat menjangkau harga-harga produk yang relative mahal disbanding dengan tingkat pendapatan rakyat Indonesia yang masih rendah.


DAFTAR REFERENSI:
1. Martinus Udin Silalahi, Enam Tahun UU Antimonopoli: Refleksi Singkat dan Dampak bagi Dunia Usaha, dimuat dalam situs Koran Harian Sore “Sinar Harapan” tgl 9 Maret 2005.
2. Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia kepada IMF tanggal 11 September 1998. http://www.imf.org/external/np/loi/091198.htm. Diakses pada 29 Maret 2009.
3. KPPU Terima 963 Laporan Monopoli, Berita yang dimuat dalam situs www.kompas.com, tanggal 12 Maret 2009. Diakses pada 31 Maret 2009.
4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
5. Modul Kuliah Aspek Hukum Dalam Kebijakan Ekonomi.

Posting Komentar

0 Komentar

Instructions

Berlangganan Melalui E-mail

Masukkan alamat email Anda untuk berlangganan artikel terbaru saya:

Web Analytics

Lokasi Pengunjung Hari Ini